
Di hutan Sulawesi yang hijau dan hangat, hiduplah seekor burung maleo bernama Luma. Ia kecil, bulunya hitam mengilap, dan wajahnya punya mahkota kuning kecil. Meski tubuhnya mungil, Luma dikenal karena sesuatu yang luar biasa: telurnya sangat besar, bahkan lebih besar dari kepalanya sendiri!
Namun, karena telurnya besar dan unik, Luma tidak bisa mengerami seperti burung lain. Ia harus menggali lubang dalam, lalu menanam telurnya di pasir hangat agar bisa menetas sendiri.
“Kasihan kamu, Luma,” kata burung merpati.
“Kamu enggak bisa mengerami anakmu sendiri,” sambung bebek.
“Kalau aku, bisa jagain telurku setiap hari!” bangga ayam hutan.
Luma hanya tersenyum. Dalam hatinya, kadang ia juga merasa sedih. Ia ingin bisa duduk di sarang, menjaga telurnya sendiri seperti ibu-ibu burung lainnya.
Namun ia tetap sabar. Setiap hari, Luma datang ke tempat sarangnya yang ditutup rapi, mengecek suhu tanah, membersihkan daun-daun kering, dan memastikan tempat itu aman.
Minggu demi minggu berlalu.
Burung lain sudah punya anak-anak yang belajar terbang. Tapi sarang Luma masih sepi. Banyak yang mulai berbisik, “Mungkin telurnya gak bakal menetas…”.
Luma diam. Tapi ia tetap percaya. Ia percaya pada cara alam, dan pada kesabarannya sendiri.
Lalu, suatu pagi… “Crack!”. Tanah di atas sarang retak.
Seekor anak maleo mendorong pasir dan muncul ke permukaan dengan mata berbinar. Ia langsung bisa berjalan! Bahkan bisa menggali dan terbang pendek! Burung-burung lain melongo takjub.
“Anakmu langsung bisa mandiri?” tanya ayam hutan.
“Iya,” jawab Luma lembut. “Itu hadiah dari kesabaran.”
Sejak saat itu, burung-burung lain belajar bahwa setiap makhluk punya cara sendiri dalam mencintai dan merawat. Lalu bagaimana dengan Luma? Ia tetap seperti biasa, bersabar, setia, dan percaya bahwa hal baik memang butuh waktu.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(fir/fir)
No responses yet