
Cerpen atau cerita pendek merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak digemari karena kemampuannya menyampaikan pesan dan emosi dalam jumlah kata yang terbatas. Dalam cerpen, penulis ditantang untuk menyusun alur, membangun karakter, dan menyampaikan nilai kehidupan secara ringkas namun tetap bermakna.
Cerpen Bahasa Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang mencerminkan budaya, kebiasaan, serta nilai-nilai lokal yang kaya. Penggunaan bahasa yang komunikatif, sederhana, dan mudah dipahami, akan membuat cerpen dalam Bahasa Indonesia dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, mulai dari pelajar hingga orang dewasa.
Dalam versi bahasa pendek, cerpen ditulis dengan lebih ringkas tanpa mengurangi inti cerita atau makna yang ingin disampaikan. Era digital saat ini, cerpen sangat cocok karena perhatian pembaca cenderung singkat dan informasi dikonsumsi dengan cepat. Melalui gaya ini juga memberi ruang bagi penulis pemula untuk belajar menyampaikan ide secara padat dan efektif.
Meski pendek, cerpen tetap memuat unsur-unsur penting seperti tokoh, latar, konflik, dan pesan moral. Justru, keterbatasan ruang menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk lebih kreatif dalam membangun cerita. Setiap kalimat harus memiliki peran, dan tidak ada kata yang ditulis tanpa tujuan.
5 Contoh cerpen Bahasa Indonesia dalam bahasa pendek
Dikutip dari buku Bukan 1998: Antologi Cerita Pendek oleh Siti Ajar Ismiyati, terdapat beberapa contoh cerpen Bahasa Indonesia dalam bahasa pendek yang dapat dipelajari Si Kecil. Simak selengkapnya.
1. Indigo
Penulis: Novita Inggit Anggraeni
Menjadi seorang yang berbeda dari manusia lainnya mungkin terdengar menyeramkan, dengan memiliki penglihatan yang berbeda dari manusia lain, memiliki kemampuan atau sifat yang tidak biasa, itulah yang aku rasakan. Sebenarnya aku merasa takut namun seiring berjalannya waktu, rasa takut itu hilang karena aku sudah nyaman berteman dengan mereka. Entah kenapa, aku bisa berteman dengan mereka.
Semua itu berawal dari tahun ke 7 masa usiaku, atau saat aku menduduki kelas 1 SD, aku bersekolah di SD Minomartani 6. Aku memiliki 5 teman yang bernama Ratih, dia mempunyai kepercayaan yang dianut oleh orang Jawa atau kejawen dan mahir berbahasa Jawa halus, serta memiliki bakat yang cukup unik, yaitu nyinden; Geby, dia keturunan Belanda yang memiliki kulit putih, rambut panjang, dan bola mata berwarna biru; Sari, dia memiliki keturunan sama seperti Ratih, yaitu mempunyai kepercayaan yang dianut oleh orang Jawa atau kejawen, dan memiliki rambut yang panjangnya sebahu; Jordan, dia keturunan Belanda juga memiliki kulit putih, rambut keriting, dan selalu membawa kota musik yang katanya peninggalan dari orang tuanya; dan Vino, dia adalah keturunan Indonesia blasteran Jepang, memiliki kulit sawo matang, rambut yang selalu disisir rapi, dan sangat suka dengan warna hitam.
Aku nyaman berteman dengan mereka karena mereka selalu ada buat aku. Namun, ada satu hal yang selalu membuatku bertanya-tanya, mengapa di daftar hadir (buku absensi) kelas hanya ada 30 siswa, sedangkan dalam perhitunganku seluruhnya ada 35 siswa.
Tapi, aku selalu mengabaikan hal itu karena aku berfikir mungkin daftar hadirnya belum diperbarui oleh guru. Setelah aku berusia 12 tahun atau setara dengan kelas 6 SD, aku mulai merasa ada hal-hal aneh yang muncul dari kelima temanku ini. Setiap azan berkumandang, mereka selalu menghilang, tidak nampak sedikitpun batang hidungnya kembali.
“Kalian dari mana? Kok kalian selalu menghilang ketika azan berkumandang?” aku bertanya dengan rasa penasaran ke mereka.
“Kami pulang ke rumah karena orang tua kami memanggil,” jawab Ratih.
“Tapi di mana rumah kalian? Sudah 6 tahun kita bersama, tapi aku masih belum tahu di mana rumah kalian,” tanyaku.
“Biarkan waktu yang menjawab,” jawab Sari.
Tak lama kemudian, masa SD ku telah selesai sehingga aku harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang tinggi. Pada saat itu, aku melanjutkan ke MTs Negeri Ngemplak atau yang sekarang sudah berganti menjadi MTs Negeri 3 Sleman. Semenjak kelulusan itu, aku tidak pernah bertemu dengan kelima temanku lagi.
Dulu, saat aku duduk di bangku kelas 7, aku pernah punya sahabat yang bernama Serly. Serly memiliki kulit putih, badan berisi, dan memiliki kumis yang tipis. Dia selalu menemaniku ke mana aku pergi, kecuali ke kamar mandi. Pada saat aku naik ke kelas 8, aku sangat dikagetkan dengan kemunculan 5 temanku tadi, yaitu Ratih, Geby, Sari, Jordan, dan Vino.
“Lah, kenapa kalian bisa di sini?” tanyaku pada mereka.
“Kami hanya ingin ikut kamu,” jawab Vino.
“Hey? Kamu sudah gila, ya? Kenapa kamu berbicara sendiri?” tanya Serly padaku.
“Aku sedang berbicara pada temanku,” aku berusaha meyakinkan pada Serly, kalo memang aku tidak berbicara seorang diri.
Pada saat itu, pembelajaran telah usai, aku pun kemudian pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku dikagetkan dengan kedatangan 5 temanku ini.
“Kenapa kalian bisa tahu kalau rumahku di sini? Padahal aku tidak pernah memberitahu pada kalian di mana rumahku, dan bagaimana kalian bisa di sini? Ini adalah kompleks baru dan hanya ada satu rumah di sini,” aku kembali bertanya-tanya pada mereka. Mereka hanya diam sambil lirik-lirikan di antaranya.
Lalu Jordan pun berkata, “Emang saatnya kamu harus tahu, kami berlima memang berbeda dengan temanmu yang lain, kami sudah meninggal dunia pada saat perang berlangsung, tidak semua orang dapat melihat kami karena kami hanya ingin bermain denganmu, apakah kamu sudah siap melihat wujud kami yang sebenarnya?” aku pun hanya terdiam dan menganggukkan kepala.
Tak lama kemudian, mereka yang awalnya terlihat seperti manusia biasa, justru berubah wujud menjadi manusia tapi dengan banyak darah di sekujur tubuhnya, bau mereka sangat amis seperti darah segar. Semenjak itu, aku tidak mau melihat wujud asli mereka lagi. Ternyata, temanku adalah mereka yang tidak dapat dilihat oleh manusia pada umumnya.
2. Inspirasi Buta
Penulis: Sylvia
Kakiku terus ku angkat dan ku letakkan serta berpindah tempat dengan gerakan yang paling cepat. Berbutir-butir bening basah menempel di keningku, aku melepaskan dan mengambil udara di sekelilingku. Tanganku tak kuasa menahan butir itu, dengan kesal tanganku yang memegang sebuah benda empuk persegi panjang berwarna cokelat dan banyak kolom-kolom, mengusap butir itu sehingga tanganku pun basah. Mentari siang ini membuat tubuhku terbakar dan lelah, tapi semangatku terus ku gapai. Aku berlari cepat mencari persembunyian, bukan dari sinar mentari tapi dari sekelompok orang-orang dewasa berbadan kekar.
“Woi! Keluar loh!” teriak salah satu dari mereka. Aku sembunyi seperti tikus bisu.
“Dasar maling!” teriak lagi dari mereka.
“Gimana kalau kita berpencar aja nyarinya! Dia cuma anak kecil, pasti larinya belum jauh!” perintah ketua kelompok. Aku menyerimpit, melewati rintangan seperti di Outbond, tapi lebih mengerikan. Sampai di pertikungan jalan, tingkahku seperti orang gila, bingung mencari celah tikus raksasa.
“Itu dia!” teriak salah seorang yang melihatku. Aku semakin kebingungan, aku terus berlari tak tentu arah, yang penting lari, itulah prinsipku.
Aku tercengang melihat sebuah tempat peribadahan yang banyak orangnya karena baru adzan dhuhur, yang sangat indah. “Inilah yang aku cari. Terimakasih ya Allah, engkau memberiku perlindungan!” ucapku syukur. Segera ku cepatkan langkahan kaki ini, walau bajuku sobek kanan kiri atas bawah, kumuh, kotor dan bau. Aku segera mengambil air wudhu.
“Ini nak, baju untukmu!” ucap seseorang yang tiba-tiba di sampingku, membawa baju lengkap dengan sarung yang sangat bersih, putih, dan mempesona. Berbeda sekali bila disamakan dengan baju yang ku pakai ini.
“Untuk saya?” tanyaku ragu walau keinginan meluap. Orang itu mengangguk.
“Pergilah ke kamar mandi sebelah sana dan ganti pakaianmu!” suruh orang itu sambil menelunjukkan jarinya. Sekarang gantian aku yang mengangguk. Aku berlari senang.
Selesai berganti, segera kulakukan ibadah dengan penuh keyakinan dan kekhusyukkan. Aku merasa sangat bahagia, entah mengapa. Sampai salam, aku berdo’a dan bersyukur atas perlindungan dan malaikat yang menurutku tadilah yang menolongku tadi. Selesai itu, aku melangkah ke pojok belakang masjid, sangking kelelahannya aku, tak dapat lagi menahan kantup mata ini lagi.
Aku menatap sekelilingingku, tidak ada cahaya dan suara seperti di kota. “Jangan-jangan ini adalah tempat pengap seperti penjara yang mereka lakukan untuk membunuhku!” pikirku khawatir akan sekelompok orang itu.
Aku melangkahkan kaki untuk meluapkan rasa penasaranku. Setengah menit berjalan, aku berhentikan langkahku. Mengamati dan membuat pertanyaan rasa penasaran yang secara otomatis terpikirkan oleh otakku.
Dua buah jalan berbeda dengan pohon yang berbeda juga. Sebelah kiri jalan yang rusak terus dan pohon yang berbuah jeruk matang dan busuk. Sebelah kanan dengan jalan yang sangat rusak dan benda tajam di setiap jalan, tapi hanya setengah, bahkan lebih sedikit dari jalan seterusnya yang sangat indah. Serta pohon yang berbuah macam-macam.
Aku bingung memilih yang mana, rasanya seperti pilihan yang benar-benar akan aku alami. Pikiranku mulai menepis, dan membutuhkan waktu lama supaya dapat memilih salah satu yang terbaik. Seseorang bercahaya putih memecahkan mataku yang terbuka, cahaya itu masuk dan sangat menyilaukan. Orang itu berhenti di depanku, semakin aku mendapat penerangan yang menyilaukan mataku. Aku terus mengangkat tanganku untuk melindungi cahaya ini.
“Nak, pilihlah jalan yang kau inginkan. Menetap atau Berpindah!” ucap orang itu. Dan seketika semuanya tampak gelap kembali. Aku menoleh kanan kiri, tak ada siapapun.
“Dimana orang itu berada?” kataku sambil terus melihat.
Tiba-tiba tanah yang kuinjak ini bergetar hebat, aku terjatuh dan terpelanting. Dan tidak ingat lagi…
“Nak, bangun nak, udah ashar!” ucap seseorang membangunkanku. Mataku yang sebenarnya masih sangat berat dengan keterpaksaan harus mengangkat bakul pikul ini.
“Jangan tidur di masjid ya nak!” ucap lagi orang itu setelah aku berusaha mengangkat tubuhku.
Aku mengangguk, orang itu beralih.
Aku segera mengambil air wudhu dan mengikuti shalat jamaah. Setelah itu aku pun harus dengan terpaksa meninggalkan tempat seindah ini. Tak tau lagi arah mana yang akan kulewati.
Keluarga bahkan teman saja tak ada, ayah bunda hanya harapan semata sehembus angin. Hanya menadang tangan, duduk lemas seakan cacat, meminta kasihan, dan 500 pun terlempar pada tangan.
Saat magrib tiba, aku bersama kawan di sana pulang. Memberikan setiap hasil yang kami dapat pada kelompok tadi. Lalu mereka memberikan bungkusan kecil yang isinya nasi dan tempe, itu saja hanya sekali sehari. Tak usah ragu kalau tubuhku kering kerempeng seperti lidi.
Tapi, semua itu takkan terjadi lagi. Aku akan melepas semua bayangan masa lalu itu dan mengganti baru dengan merk yang paling bagus di dunia. Tadi kelompok orang itu ku anggap sebagai kucing yang sedang mengejar mangsanya, tikus alias aku. Tapi ternyata Jerry lebih lincah dan cerdas dari pada Tom. Jerry mengambil keju milik Tom, dan Jerry tidak mau menjadi mangsa dari Tom lagi. Jelas semua itu kenyataan. Aku merogoh saku baju bersih tadi, sebenarnya aku terlihat jauh lebih tampan daripada sebelumnya. Dan aku terpelongo.
“Dompet ku?” kataku lemas tak berdaya, aku segera berlari kembali ke masjid tadi. Itulah keju yang dicuri Jerry dari Tom. Ternyata masjid itu sudah terkunci. “Huh, bagaimana nasibku sekarang?” desisku kesal.
“Tak usah khawatir. Sebentar lagi kau akan berakhir di tangan kami!” ucap tenang suara sekelompok penjahat itu. Apa, penjahat itu di depanku. Aku terkepung, dan tak lagi dapat mencari terobosan.
“A… tidak!!!” teriakku keras.
**
“Byur” seember air dingin mengguyurku di pagi ini. Aku mengedipkan dan membuka berkali-kali mataku.
“Ngapain loh kayak gitu? Cepet sana mandi!” suruh ketua kelompok itu. Aku masih bengong-bengong setengah mimpi. Ternyata itu hanya sebatas imajinasiku saja. Tapi, itu imajinasi tercerdas yang kumiliki.
Nanti, aku akan mengalaminya dengan kenyataan dan bukan mimpi lagi, sebuah kenyataan yang tidak ku lalui sendiri. Bersama kawan sepengemis ini! Aku siap, dunia! Nanti…
Dikutip dari buku Warna-Warni Hati : Kumpulan Cerita Pendek oleh Cicik Yulianita, S.Pd., dkk, terdapat beberapa contoh cerpen Bahasa Indonesia dalam bahasa pendek yang dapat dipelajari Si Kecil. Simak selengkapnya.
3. Jangan meremehkan
Penulis: Jingga Arifanti
Suatu hari ada seorang anak yang bernama Fitri, dia merupakan seorang murid kelas 1 SMP yang sangat pintar dan baik hati. Di sekolah, dia mempunyai banyak teman karena Fitri memiliki sikap yang baik.
Fitri memiliki teman bernama Rani, dia berbeda sekali dengan Fitri. Memang dia pintar, tapi sikapnya sombong dan egois.
Suatu hari, Bu Guru mengumumkan bahwa ada lomba membaca pidato yang dilaksanakan satu minggu lagi. Bu Nike selaku wali kelas membuka kesempatan siapa saja yang akan mengikuti seleksi. Sampai hari penyeleksian tiba, kedua anak tersebut memberikan penampilan yang sangat baik dan dinyatakan lulus.
Saat hari perlombaan tiba, Rani terus saja membanggakan dirinya, bahwa pasti ia akan mendapatkan juara karena sebelumnya Rani pernah menjadi juara waktu kelas 6 SD.
“Aku yakin pasti aku akan menang. Tentu saja aku kan pernah menang lomba pidato,” ujar Rani dalam hati.
Berbeda dengan Fitri, ia tidak henti-hentinya berdoa dan berlatih dan mencoba menghafalkan teks pidato tersebut. Rani pun dipanggil lebih dulu, mendadak Rani pun lupa teks pidato yang dihafalnya.
Setelah itu Fitri pun maju dan memberikan penampilan yang sangat bagus. Semua juri kagum terhadap Fitri termasuk Bu Nike. Akhirnya pengumuman pemenang lomba pidato pun tiba, Fitri keluar dengan membawa juara 1, sedangkan Rani menangis karena tidak memenangkan lomba pidato.
4. Perjuangan dipengaruhi oleh keinginan
Penulis: Selvyana Rachma Anjani
Meninggalkan keluarga dan menyeberangi samudra di usia yang baru menginjak 50 tahun bukanlah perkara yang mudah. Nisa adalah anak tunggal yang sangat disayang atau diharapkan kepada ibunya yang sudah tua.
“Nisa kamu sudah mulai dewasa umurmu sudah mulai terlihat tua. Orang dewasa harus sabar untuk menghadapi masalah atau cobaan yang diberikan kepada Allah SWT. Apalagi sudah berumah tangga kebutuhan mulai banyak. Ingat itu Nisa,” ucap ibu dengan bahagia dan salut kepada Nisa, ibu memberi kata-kata terakhir.
“Pesan ibu baik-baik di kota lain jangan membuat kotamu menjadi kota yang terancam jelek karena Nisa. Jangan malu-malukan ibumu,” jelas ibu dengan menyentuh bahu Nisa.
“Iya Bu! Doakan Nisa baik-baik di sana. Nisa selalu kuat dalam hal apapun. Nisa berkaca-kaca sebelum waktu air mata tumpah di depan ibu,” jawab Nisa dengan hati senang dan penuh semangat.”
“Iya Nisa apa yang tidak ibu lakukan buat anak ibu. Ibu akan selalu mendoakan yang terbaik. Nisa jangan lupa berdoa, pantang menyerah, ibu akan memberikan semangat agar Nisa sukses. Berguna di masyarakat dan di masa depan,” kata ibu dengan penuh semangat wajah yang ceria terharu karena Nisa mau menjalani hidup tanpa menyusahkan orang sekitarnya.
5. Balerina
Penulis: Indah Cho
Ruang pertunjukan terdengar riuh. Penonton berteriak, terkejut.
“Oh Tuhan!”
“apa yang terjadi?”
“aku sudah menduga dia akan jatuh.”
“oh… Kasihan sekali.”
“Gwen!”
Sang Ibu dan para crew yang berada di backstage segera menghampiri seorang gadis penari yang jatuh terduduk di atas panggung. Segera dibawanya Gwen menuju ruang istirahat, lalu dibaringkan. “Gwen mengalami tegangan pada otot kakinya karena belum terbiasa. Tidak apa-apa, ini akan sering terjadi pada awal-awal. Tapi sedikit istirahat akan membuat kakinya membaik.” Mendengar itu, Gwen hanya menghela napas lelah. Sedang ibunya yang sejak lima menit lalu diserang panik itu merasa lebih tenang.
“Gwen, lebih baik kau istirahat saja dulu, Ibu khawatir.”
“Tapi Bu, aku ingin menari lagi. Ini konser solo yang sangat aku harapkan,” kata Gwen.
“Hanya ballet yang membuatku bisa menerima kondisiku sekarang Bu.”
“Tapi tidak untuk kamu.” Ucapan Ibu terhenti sejenak, “Gwen… Berhentilah, lakukan apa yang kamu ingin lakukan, asal tidak menari.”
“Apa karena kakiku yang tinggal satu? Apa karena kecelakaan itu? Apa karena kaki kiriku harus diamputasi? Apa karena itu? Ibu melarangku untuk menari?” Gwen menangis, ibunya juga menangis.
“aku bisa menari dengan satu kakiku, Bu. Kedua tanganku masih utuh. Aku bisa menggunakan tongkat. Aku baik-baik saja. Aku mungkin tidak normal lagi seperti dulu, tapi ini konser solo yang sangat aku inginkan. Ku mohon biarkan aku terus menari.”
“Gwen, sekali lagi. Ibu mohon, berhentilah menari.”
“aku tahu Ibu mencemaskanku. Tapi tidakkah Ibu mengerti apa yang aku inginkan dari dulu? Biarkan saja orang lain menganggapku tidak bisa. Tapi nyatanya aku bisa walau dengan satu kaki. Aku akan membuktikan pada mereka Bu, bahwa aku bukan orang yang cacat.” Kali ini Gwen benar-benar meminta, Sang Ibu menatapnya ragu-ragu.
“Ibu bisa mempercayaiku.”
Denting Piano mulai mengalun. Cahaya lampu menyorot pada bintang utama yang berada di tengah panggung. Gwen. Gadis itu sejenak memejamkan mata. Mencoba untuk percaya diri.
Dia mengangkat tangannya untuk memberi salam pada penonton. Musik mengalun agak cepat, Gwen mulai menari dengan tongkat putihnya yang setia. Walau hanya dengan satu kaki, dia menari dengan luwes dan indah.
Dia terbang, melayang, bagai menari di angkasa. Selama beberapa menit ia menari, gerakan Gwen agak melambat seiring Musik yang ikut melambat. Hingga akhirnya berhenti. Dia menghembuskan napas merasa puas. Ia membuka mata melihat penonton yang terdengar riuh. Ia akan rindu saat-saat seperti ini. Ia akan rindu dirinya yang menari seperti ini. Ya, ia akan rindu. Mendadak, terngiang jelas di pikirannya janji pada ibunya beberapa menit lalu.
“Bu, jika Ibu mengizinkan aku menari sekali lagi, aku berjanji. Ini terakhir kalinya Aku menjadi balerina.”
Itulah contoh cerpen Bahasa Indonesia dalam bahasa pendek yang dapat dipelajari Si Kecil di rumah. Semoga bermanfaat untuk pengetahuan Si Kecil, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)
No responses yet