
Baru-baru ini kembali viral sebuah video challenge ”berbagai kue” di media sosial. Video yang dikenal juga sebagai cookie sharing challenge ini dilakukan untuk menguji apakah seorang anak bersedia berbagi kue dengan orang tuanya. Hmm, berminat mencoba, Bunda?
Cara menerapkannya, orang tua meletakkan kue di bawah tisu dapur. Mereka mengungkapkan bahwa anak tersebut memiliki dua kue, sementara salah satu orang tua tidak memiliki kue di bawah tisu dapur mereka.
Kemudian, orang tua menunggu untuk melihat apakah anak tersebut akan berbagi kue tambahan ke mereka. Atau justru anak akan menyimpannya untuk diri mereka sendiri.
Video-video yang viral memperlihatkan ada anak yang mau berbagi kue dan menunjukkan empati, lalu kerap menuai pujian. Sementara anak yang tidak mau berbagi justru mendapat komentar negatif dan bahkan dihakimi.
Apakah ini benar-benar perlu dilakukan untuk menguji kemampuan anak balita untuk berbagi, atau apakah ini cerminan dari risiko emosional sendiri sebagai orang tua?
Apa yang diungkapkan melalui video viral ini?
Apakah tantangan ini benar-benar menunjukkan seberapa baik atau pedulinya seorang anak? Jawaban sederhananya adalah: tidak juga.
Menurut Psikolog Pendidikan dan Konselor TK-SD Sekolah Cikal Lebak Bulus, Anggi Gracia Sigalingging, M.Psi., Psikolog, tantangan ini bukanlah alat pembelajaran yang mumpuni untuk mengukur kadar empati anak.
“Empati dan kebaikan hati anak tidak bisa diukur hanya melalui satu situasi atau tantangan semacam ini saja. Respon anak dalam satu kondisi belum tentu mencerminkan keseluruhan karakter atau menjadi sebuah penilaian yang menyeluruh terhadap anak. Oleh karena itu, hasil dari tantangan ini sebaiknya tidak digeneralisasi atau dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur dalam menilai empati anak,” ujar Anggi dalam rilis yang diterima HaiBunda, Senin (28/4/2025).
Hal senada juga diungkapkan seorang Psikolog Klinis di Amerika Serikat, Lilit Ayrapetyan, PsyD. Ia menjelaskan situasi tersebut bersifat buatan dan dilakukan tanpa persiapan bagi anak. Justru tantangan ini bisa menimbulkan kecemasan alih-alih menumbuhkan empati.
“Ini menempatkan anak-anak dalam situasi buatan di mana mereka direkam dan diuji tanpa persiapan atau bimbingan,” kata Lilit, seperti dikutip dari Parents.
Secara perkembangan, empati pada anak baru mulai terbentuk di usia 3–5 tahun. Bahkan saat itu pun, perilaku prososial seperti berbagi dipelajari lewat keteladanan dan pengulangan.
“Penting untuk diingat bahwa perilaku ini dipelajari melalui pemodelan, dorongan berkelanjutan, dan banyak pengulangan, bukan naluri moral bawaan,” imbuh Lilit.
Pakar pendidikan, Kristen Miller, juga menekankan hal serupa. Menurutnya, perkembangan sosial dan emosional sangat bervariasi antara anak satu dengan lainnya, sehingga satu momen tidak bisa dijadikan patokan utama.
Bagaimana jika anak ‘gagal’ dalam tantangan viral ini?
Jika Bunda sudah mencoba melakukan tantangan ini, kemudian hasilnya ternyata Si Kecil memilih untuk tidak berbagi kue, maka jangan langsung menganggapnya sebagai anak yang egois.
Miller dan Lilit menegaskan bahwa hal tersebut adalah respons yang wajar dan sangat mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai dari rasa lapar atau rasa tidak nyaman karena sedang direkam.
Satu momen di situasi buatan bukanlah cerminan moralitas anak secara keseluruhan. Perkembangan karakter adalah proses panjang, bukan hasil dari satu tes.
“Hal ini tidak berarti orang tua gagal atau anak mereka egois. Seorang anak yang tidak berbagi kue dalam skenario ini sepenuhnya normal secara perkembangan dan tidak perlu dikhawatirkan berlebihan,” pesan Lilit.
Mengapa anak belum mau untuk berbagi?
![]() |
Seperti yang kita ketahui, anak usia dini masih dalam tahap perkembangan kognitif awal. Anggi menjelaskan hal tersebutlah yang membuat Si Kecil masih sulit memahami sudut pandang orang lain. Oleh karena itu, peranan orang tua sangat penting, Bunda.
“Pada usia ini, sudut pandang anak masih sering berpusat pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, bimbingan dari orang tua maupun guru sangat dibutuhkan untuk membantu anak memahami bagaimana berempati dan menunjukkan perilaku yang sesuai dalam lingkungan sosialnya, dan penting untuk diingat bahwa satu reaksi anak dalam satu kondisi tertentu tidak bisa dijadikan sebagai gambaran utuh dari karakter atau nilai-nilai yang dimiliki anak secara keseluruhan,” tutur Anggi.
Dikutip dari laman Motherly, anak-anak di usia balita sedang dalam proses memahami konsep berbagi. Perilaku seperti ini termasuk dalam kategori prosocial behavior, yakni tindakan sukarela untuk membantu orang lain.
Namun karena fungsi otak mereka masih berkembang, kemampuan untuk mengendalikan impuls dan menunjukkan empati pun belum stabil.
Psikolog Anak, Dr. Tovah Klein, mengingatkan bahwa cookie challenge hanyalah momen lucu yang tidak sepatutnya dianggap terlalu serius dan menjadi patokan tentang karakter anak.
Hal yang lebih penting adalah pola pembelajaran dari waktu ke waktu, serta lingkungan yang mendukung pertumbuhan karakter anak.
“Ini bukan eksperimen ilmiah. Saya pikir orang tua harus berhati-hati dalam menanggapi hasil dari tantangan viral tersebut, selain bahwa ini adalah momen ‘lucu-lucuan’ saja,” ungkap Klein.
Dampak buruk dari video viral ‘Berbagi Kue’
Meskipun lucu, tantangan seperti ini dapat menimbulkan dampak negatif, terutama jika dibagikan ke media sosial. Miller mengingatkan bahwa video yang memperlihatkan anak dalam situasi memalukan bisa berdampak pada kesejahteraan emosional mereka di masa depan.
Lilit juga menambahkan bahwa ini menciptakan rekam jejak digital, terutama karakter anak dalam sudut pandang negatif.
“Orang tua harus berhati-hati saat mengunggah video ke media sosial yang memperlihatkan anak mereka dalam sudut pandang negatif. Jenis video ini dapat memengaruhi kesejahteraan emosional anak di masa mendatang. Setelah diunggah, jejak digitalnya sangat sulit dihapus,” ungkap Miller.
Kondisi demikian bahkan juga bisa merusak kepercayaan antara anak dan orang tua, serta menyebabkan kecemasan sosial di kemudian hari.
Secara tidak langsung, orang tua mengajarkan anak-anak bahwa kesalahan mereka dapat disebarluaskan sebagai hiburan bagi orang lain. Bahkan ini juga berpotensi membuat anak-anak menjadi sasaran komentar buruk dari orang asing.
Pentingnya memahami cara mengajarkan anak tentang berbagi
Alih-alih melakukan tantangan viral, Bunda dapat mengajarkan tentang konsep berbagai dari memberikan gambaran sederhana dan diskusi pada anak.
“Anak dapat diajak membayangkan apa yang dapat mereka lakukan jika mengalami situasi serupa. Orang tua dapat memberikan gambaran dan diskusi dapat dimulai dari refleksi pribadi orang tua, dengan menyampaikan sudut pandang mereka dalam bentuk pernyataan yang positif dan menjadi contoh bagi anak,” jelas Anggi.
“Contohnya, ‘Kalau Mama punya dua kue, sepertinya Mama akan berbagi dengan orang yang belum punya makanan, karena Mama senang berbagi dan makan bersama itu menyenangkan.” Dengan pendekatan seperti ini, anak dapat memahami nilai empati dan berbagi dari pengalaman dan perspektif orang tua,'” imbuhnya.
Selain itu, Bunda dapat menumbuhkan empati dan kebiasaan berbagi lewat cara-cara lain yang lebih efektif. Beberapa di antaranya seperti:
- Memberikan contoh sebagai teladan dalam bersikap dermawan
- Membacakan buku bertema berbagi
- Berdiskusi tentang perasaan saat terjadi situasi nyata
- Memberikan pujian saat anak mau berbagi secara spontan
- Menyediakan kesempatan berbagi yang tanpa tekanan
Apakah anak mau membagi kuenya atau tidak, yang terpenting bukanlah apa yang mereka lakukan pada saat itu, tetapi apa yang Bunda contohkan kepada mereka setiap hari. Ingatlah bahwa anak belajar melalui pengamatan, konsistensi, dan bimbingan dari orang-orang di sekitarnya.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(fir/fir)
No responses yet